slank

slank

Selasa, 20 Oktober 2009

haki dan ite


Hak atas Kekayaan Ilmiah :
» daftar fenomena
Sentra HaKI; Wadah di Kampus yang Mengurus Hak Paten Penelitian Dosen-Mahasiswa
Tomy C. Gutomo Seret Peminat, Karena Prosesnya Terlalu Lama Beberapa kampus di Surabaya, sebenarnya sudah ada sentra HaKI (Hak atas Kekayaan Intelektual). Salah satu yang ditangani, adalah memproses penelitian mahasiswa dan dosen, agar mudah dipatenkan. Tapi, mengapa wadah ini belum maksimal dimanfaatkan? Kehadiran sentra HaKI di kampus-kampus, diharapkan memudahkan mahasiswa maupun dosen, untuk mematenkan karya atau penelitiannya. Namun, kehadiran lembaga tersebut, ternyata belum mampu memancing mahasiswa atau dosen agar semakin bergairah mendaftarkan karya penelitiannya untuk dipatenkan. Padahal, kehadiran sentra HaKI di kampus, sebenarnya bisa memperpendek urusan pengurusan sertifikat HaKI. Selama ini, sertifikat HaKI memang hanya dikeluarkan oleh Dirjen HaKI Departemen Kehakiman dan HAM. Juga ada lembaga HaKI yang memiliki kualifikasi internasional di beberapa negara seperti Amerika dan Australia. Sentra HaKI di kampus, hanyalah fasilitator yang menghubungkan peneliti atau pencipta, untuk mengurus sertifikat HaKI. Di Unair, sentra HaKI telah berdiri sejak 2001. Lembaga yang dipimpin Dr Sri Wahjuni Astuti SE MSi ini melayani pengurusan hak cipta, hak paten, pendaftaran merk, dan sebagainya yang diatur dalam UU No 19 tahun 2002 tentang HaKI. Lembaga yang berlokasi di kampus B Unair ini, sejak berdiri hingga sekarang baru memproses lima karya penelitian dosen, dan 1 penelitian mahasiswa untuk dipatenkan. Selain itu, juga ada dua logo yang sedang diproses untuk mendapat sertifikat hak cipta, yakni logo Unair dan Pusura. "Ada karya dari luar Unair, tetapi juga tidak banyak. Kesadaran mahasiswa dan dosen tentang HaKI masih sangat rendah," kata Ari Prawira, staf sekretaris Sentra HaKI Unair, kemarin. Salah satu karya dosen Unair yang sedang proses dipatenkan, adalah penemuan Dr David Perdanakusuma, yang juga dokter ahli bedah plastik di RSU dr Soetomo. Dia menemukan teori tentang keloid (bekas-bekas luka di kulit yang cukup mengganggu penampilan) Sedangkan karya mahasiswa yang juga sedang diproses adalah komik Matematika, karya salah satu mahasiswa Psikologi Unair, Vica Anggraeni. Bagaimana dengan ITS? Sentra HaKI di ITS, saat ini baru memproses 25 karya penelitian dosen dan mahasiswa ITS. Dari 25 karya itu, sudah dua karya turun sertifikat HaKI-nya. Yakni alat pengatur daya tahan beton dan kompor efektif. Dua-duanya karya dosen ITS. Sisanya, masih dalam proses di Jakarta. Ketua Sentra HaKI ITS, Dr Ir Suprapto Dipl.Ing menjelaskan, meski baru sedikit, di Indonesia, sentra HaKI ITS paling banyak mengirimkan karya untuk dipatenkan. "Biasanya, kalau tidak aplikatif untuk industri, jarang ada yang mau mematenkan," jelasnya. Yang membuat para dosen dan mahasiswa malas, kata Suprapto, karya-karya teknologi sangat cepat berkembang. Padahal, untuk mematenkan teknologi baru, butuh waktu 2 - 4 tahun. Bisa jadi, sertifikat hak patennya keluar saat teknologinya sudah ketinggalan. "Ya percuma saja, ketika hak paten turun, teknologinya tidak lagi bisa dijual," kata Suprapto. Lamanya proses sertifikasi HaKI ini, salah satunya disebabkan banyaknya persyaratan yang diterapkan oleh Dirjen HaKI. Naskah karya yang akan dipatenkan juga harus memiliki bahasa hukum, sehingga bisa punya landasan hukum. Setelah pendaftaran, biasanya Dirjen HaKI akan mengumumkan karya tersebut. Maksudnya, memberi kesempatan kepada masyarakat untuk komplain, jika merasa karya seseorang ini hasil plagiat atau sama dengan karya orang lain. "Makaya, dalam kasus ini, kehadiran sentra HaKI di kampus-kampus sangat dibutuhkan. Sehingga, ketika mahasiswa atau dosen punya karya yang bisa dipatenkan, tidak lagi perlu bolak-balik ke Jakarta untuk mengurusnya," tuturnya. Soal minat mahasiswa dan dosen yang masih belum banyak tertarik memanfaatkan sentra HaKI di kampus ini juga terjadi di Ubaya (Universitas Surabaya). Rektor Ubaya, Drs Ec Wibisono mengatakan, di Ubaya baru ada dua karya penelitian dosen yang telah mendapat hak paten. "Hanya saja, hak patennya didapatkan dari Australia, karena penelitiannya juga di sana," kata Wibisono. Sebenarnya, kebijakan kampus-kampus terhadap HaKI sudah cukup mendukung. Rektor ITS, Dr Ir Mohammad Nuh DEA, tidak kurang-kurang memotivasi dosen-dosen maupun mahasiswa untuk mendaftarkan karyanya ke sentra HaKI. Bahkan, rektor juga mensubsidi biayanya. Menristek Hatta Radjasa, dalam beberapa kesempatan di ITS, juga selalu mengatakan, siap membiayai karya ilmiah mahasiswa yang akan dipatenkan. Rupanya, dukungan-dukungan semacam itu belum mampu menumbuhkan kesadaran terhadap HaKI ini. Memang, masih terbatas jumlah sentra HaKI di kampus. Baru beberapa kampus ternama saja yang memulai. Di kampus-kampus lain, sama sekali belum ada. Padahal, jika mengurus HaKI melalui lembaga swasta, bisa sangat mahal.